HALILINTARNEWS.id, TAKALAR — Pembelajaran Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Kabupaten Takalar kini tampil dengan wajah baru. Lima tahun terakhir, metode pengajaran yang dulu hanya berpusat di ruang kelas mulai bergeser ke alam terbuka.
Dari Pantai Punaga hingga Danau Tanralili, dari wisata Topejawa hingga hutan mangrove Laikang—semua kini menjadi laboratorium hidup tempat siswa belajar langsung mengenali fenomena alam.
Wisata Jadi Ruang Kelas Terbuka
Kabupaten Takalar dikenal memiliki kekayaan alam melimpah—garis pantai sepanjang lebih dari 70 kilometer, kawasan mangrove yang luas, serta danau alami yang menawan. Potensi alam ini kini dimanfaatkan sekolah-sekolah sebagai sumber belajar IPA berbasis wisata.
Sejak tahun 2020, sejumlah guru SD dan SMP mulai memanfaatkan lokasi wisata sebagai media pembelajaran. Di Pantai Topejawa, siswa diajak mengamati proses abrasi dan meneliti suhu air laut dalam konteks pemanasan global. Sementara di Mangrove Center Laikang, mereka belajar tentang ekosistem hutan bakau, rantai makanan, dan konservasi lingkungan.
“Belajar di alam membuat anak-anak lebih mudah memahami konsep. Mereka tidak hanya membaca buku, tetapi mengalami langsung bagaimana sains bekerja,” ujar salah satu guru IPA di SMPN 3 Mappakasunggu.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka, yang menekankan pembelajaran kontekstual dan berbasis proyek.
Kegiatan Belajar yang Menyenangkan
Konsep “belajar sambil berwisata” kini semakin populer di Takalar. Beragam kegiatan menarik digelar di sejumlah sekolah, di antaranya:
Proyek Ekowisata Mangrove di SMPN 3 Mappakasunggu, di mana siswa menanam mangrove sambil meneliti kadar salinitas air laut.
Kelas Lapangan Pantai Punaga, tempat siswa SD belajar gaya gesek dan energi melalui permainan pasir dan air.
Eksperimen Air Tanah di Danau Tanralili, yang membantu siswa memahami konsep infiltrasi dan siklus air secara langsung.
Program Wisata Sains Sekolah (WSS), yang melibatkan kolaborasi antara guru dan pemandu wisata lokal.
Kegiatan ini tak hanya membuat siswa lebih antusias belajar, tetapi juga menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan dan pariwisata berkelanjutan di daerahnya sendiri.
“Anak-anak jadi lebih aktif dan kreatif. Mereka senang karena bisa belajar sambil bermain di alam,” ungkap Nurhayati, guru SD di Kecamatan Mangarabombang
Sinergi Pemerintah dan Masyarakat
Inovasi pembelajaran ini mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Takalar melalui Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata. Sejak 2021, kolaborasi antara sekolah dan pengelola wisata lokal mulai dibangun melalui program “Wisata Edukasi Sains”.
Beberapa desa wisata seperti Punaga, Topejawa, dan Laikang kini memiliki fasilitas sederhana untuk kegiatan belajar, seperti gazebo, papan informasi, dan alat ukur lingkungan.
Masyarakat pun turut berperan aktif. Nelayan, petani tambak, dan pengelola wisata ikut menjadi “guru lapangan”, memperkenalkan anak-anak pada fenomena alam yang mereka hadapi setiap hari.
“Ini bukan hanya pembelajaran IPA, tetapi juga pembelajaran kehidupan. Anak-anak mengenal profesi, alam, dan pentingnya menjaga lingkungan,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Takalar dalam sebuah kesempatan.
Kendala dan Tantangan
Meski penuh potensi, pelaksanaan pembelajaran IPA berbasis wisata di Takalar masih menghadapi berbagai kendala. Tidak semua sekolah memiliki dana transportasi menuju lokasi wisata. Beberapa guru juga mengaku kesulitan mengaitkan kegiatan lapangan dengan konsep ilmiah secara sistematis.
Selain itu, sebagian lokasi wisata belum memiliki sarana kebersihan dan keamanan yang memadai untuk kegiatan pendidikan. Karena itu, diperlukan dukungan berkelanjutan dari pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat agar program ini dapat berkembang secara konsisten.
Takalar Menuju “Kelas Alam Terbuka”
Meski demikian, arah pendidikan sains di Takalar kini semakin progresif. Anak-anak belajar tidak hanya dari buku, tetapi dari alam dan masyarakat sekitar.
Konsep wisata edukatif ini menjadikan sains lebih menyenangkan, bermakna, dan kontekstual. Jika sinergi antara dunia pendidikan dan sektor pariwisata terus diperkuat, Takalar berpeluang menjadi model nasional pembelajaran IPA berbasis wisata.
“Visi kami sederhana: menjadikan Takalar sebagai kelas alam terbuka. Di sini, setiap pantai, hutan, dan danau adalah ruang belajar,” pungkas Sudarto, dosen PGSD FIP Universitas Negeri Makassar.
Penutup
Lima tahun perjalanan pembelajaran IPA berbasis wisata di Kabupaten Takalar membuktikan bahwa pendidikan dapat berjalan seiring dengan pengembangan pariwisata.
Di pantai, hutan mangrove, dan danau, anak-anak Takalar menemukan keindahan alam sekaligus makna sains yang sesungguhnya — belajar bukan hanya tentang mengetahui, tetapi tentang mengalami.
Tagline:
Dari laut dan danau Takalar, anak-anak belajar sains yang hidup dan menyenangkan — wisata yang mendidik, belajar yang menggembirakan.
Oleh: Sudarto
Dosen PGSD FIP Universitas Negeri Makassar
Email: drsudartompd@gmail.com












